Mahasiswa Kelas Eksekutif Semester Dua Digit



Setelah beberapa sebelumnya membahas tentang menjadi mahasiswa baru, rasanya tak adil jika tidak membahas tentang mahasiswa tidak barunya. Dalam kontradisksinya, mahasiswa lama. Tapi kali ini saya ingin sekali memberi judul tulisan ini dengan mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit. Tentu tulisan ini dibuat dengan kesengajaan, tapi jika ada kesamaan kisah mohon dimaklumi dan akui saja. Jika kalian tidak terima dengan tulisan ini, fiks kita sama.

Jika ditanya kepada mahasiswa ini, kenapa kok belum selesai, maka akan ada banyak jawaban sesuai  dengan alasan mereka masing-masing. Ada yang tidak selesai-selesai kuliah karena selama awal kuliah terlalu banyak meninggalkan jam dan mendapatkan beberapa nilai E atau D, sisanya adalah rantai karbon. Juga jarang ada vitamin A nya, karena matanya masih normal dan tidak perlu perawatan. Soalnya jarang digunakan untuk membaca hingga larut dan lupa waktu. Selanjutnya, ada yang karena malas dan mudah terlena dengan hal lain yang menurutnya lebih menarik, seperti main, hiking, traveling. Sayangnya melupakan tugas akhir dan ketika sudah sampai semester dua digit barulah bertanya kemana selama ini. Masalahnya bukan hanya dia saja, karena kemudian akan ada rasa segan untuk menghadap dosen pembimbing dkk.

Kemungkinan jawaban selanjutnya adalah karena dosennya yang super sibuk sehingga baru bisa bimbingan setiap sepekan sekali. Ditambah buaian kasur, wifi dengan kecepatan 20 mbps, Smartphone 6 128 GB, dan kosan dengan AC dan kasur lembut nan tebal. Maka hal ternyaman adalah tetap berdiam di kamar dan asik dengan dunia sendiri. Hingga lama kelamaan mulai asing dengan dunia kampus, menjadi mahasiswa legend sampai punya lebih dari 4 generasi adik tingkat. Lengkap sudah penderitaan batin ketika harus kembali ke kampus demi tugas akhir.

Lainnya, juga ada yang mengatakan karena sayang dengan kampus, sayang dengan dosen pembimbing, memberi motivasi, berbagi ilmu disana dan disini. Tetapi untuk sekedar melaksakan penulisan skripsi di sampul pertama seolah-olah kegiatan lain menggoda untuk dikerjakan. Berdalih tidak apa-apa bila bisa memberikan manfaat yang banyak kepada yang lainnya, maka menyelesaikan studi adalah yang nanti dulu, aku telah menemukan jalanku. Apakah ini masalah? tapi bukankah kehidupan kita jugalah masalah yang perlu di tanggapi dengan bijak agar kita kembali ke tempat perhentian yang paling baik? Mari kita bahas satu persatu.

Psikologi mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit berisi penuh tekanan dari dunia luar. Bagaimana mereka bersikap tergantung dengan pembawaan karakter mereka masing-masing. Menariknya rakyat luar dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa ini memukul rata semuanya dengan tuduhan yang sama. Yang lulus cepat adalah orang yang pintar dan yang lulusnya lama adalah orang yang kurang pintar. Padahal faktanya ada yang IPK nya mencapai 3,5 lebih tapi lulus pada tahun garis merah medekati dua huruf D dan O. Sudah terbayang bagaimana tekanan psikologisnya kan? Maka akan ada yang menjadi sangat sensitif saat ditanya dengan skripsi, udah sampai mana? kapan wisuda? Rasanya pengen nonjok tuh muka orang yang nanyain.

Di lain waktu, ada pembimbing super idealis. Semuanya harus sesuai dan rapi sekaligus mengimbangi karya ilmiah mahasiswa dari kampus harvard atau perguruan tinggi bergengsi lainnya. Sedangkan mahasiswa terbimbing otaknya cetek, berifikirnya sederhana dan cuma pengen ijazah aja. Dua hal ini jika bertemu adalah magnet yang saling tolak menolak. Dan akhirnya mengantarkan sang mahasiswa pada jurang kenestapaan yang dalam.

Lain hal nya, bagi yang bertujuan kuliah supaya mendapat pekerjaan yang baik dan bisa hidup mandiri. Di dorong dengan liku-liku birokrasi kampus yang menurutnya rumit, dan lingkungan kampus yang kurang sesuai, atau mungkin merasa salah jurusan. Hal ini membuat sang mahasiswa mencari hal lain yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang. Berbekal kenalan organisasi, kelihaiannya bernegosiasi dan berkoneksi, dia berhasil memperoleh pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu luang di luar kuliah dan kewajibannya menyelesaikan karya ilmiah.

Awalnya didorong karena kebutuhan SPP, sehingga pekerjaan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan jurusan yang ia ambil. Mendapatkan uang, menikmati pekerjaan, membuat nyaman dan merasa apa yang ia cari telah ia dapatkan. Sayangnya terlena dan lupa kalau ternyata skripsi belum selesai, didukung dengan konflik batin dengan pembimbing. Lengkap sudah, semesta sempit mendukungmu untuk tidak menyelesaikannya. Sayangnya, pada suatu saat ketika karir kerjanya baik, maka title pendidikan sangat dibutuhkan untuk naik pangkat.

Jadi dengan semua kasus di atas siapa yang berhak dibela?

Pernah suatu waktu saya merasa bahwa saya salah jurusan. Segala pertimbangan dulu kenapa memilih jurusan yang ditekuni saat ini, adalah hal-hal yang semuanya bersifat akademik dan nilai-nilai kebahagiaan yang sesaat. Tanpa mempedulikan bagaimana kenyamanan jiwa saat menjalani dan mendalaminya. Namun, ketika sesekali beres-beres barang dan merapikan satu-persatu tumpukan kertas dan formulir, ada beberapa tumpuk kertas dan lembar formulir. Dan disitu ada nama dan data diri secara singkat. Saya berfikir, bahwa saya dulu masuk perguruan tinggi dan jurusan ini juga atas persetujuan saya sendiri. Saya pikir, apa yang telah saya mulai harus saya selesaikan. Ya, salah jurusan juga bukanlah bencana. Menjadi mahasiswa eksekutif memang sebuah tragedi, tetapi bukan berarti ini sepenuhnya buruk. Tetapi memilih menyerah sungguh tidak keren sekali. Kehidupan adalah selembar kertas kosong setiap harinya. Lalu akan seperti apa yang kau tulis pada kertas itu, Allah benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada hambanya. Apakah penuh noda pekat, atau rapi tertulis amal shaleh dan bercahaya.

Maka apa salahnya, meski menjadi mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit, kita tetap berusaha untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan juga tetap memberi kebermanfaatan sesuai dengan kesenangan kita. Maka memilih yang benar dan baik, lalu melaksanakan menurutku lebih keren dari pada menyerah pada setiap masalah yang sebenarnya membuat kita jauh lebih kuat dari biasanya. see you for next part

Alhamdulillahirabbilaalamiin

0 komentar:

Pendidikan untuk Para Pekerja - Aku hanya berpikiran demikian



Lanjutan ....

Bagi orang-orang jenius atau juga yang dapat melewati standar parameter sistem pendidikan, maka jenjang selanjutnya adalah masuk di perguruan tinggi. Sistem penerimaan di perguruan tinggi pun tidak kalah kompetitif-nya menyeleksi orang-orang jenius. Orang-orang bersaing masuk Universitas bergengsi dan jurusan yang dapat memanjakan kejeniusan mereka. Sebenarnya, ketika menjadi mahasiswa inilah akhirnya beberapa orang sadar bagaimana mereka berkembang sesungguhnya. Bagi banyak orang kuliah adalah untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah menjadi syarat agar bisa menjadi karyawan perusahaan dengan gaji yang besar.

Beberapa orang kuliah karena ikut-ikut temannya dan memiliki banyak waktu menerima semua pemikiran dan tidak mencandu pada patokan sistem untuk menjadi yang terbaik. Beberapa yang lain memaksakan diri karena ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik dan berjuang sampai berdarah-darah agar dapat menaikkan derajat keluarganya. Sayangnya sistem perguruan tinggi, menawarkan dan mengajarkan kita untuk menjadi pekerja keras dan menjadi pekerja murni. Ya walaupun aku tidak menggunakan data statistik tetapi aku berani berkata bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia menjadi seorang pencari kerja.

Faktanya memang demikian, ketika kuliah kita diberikan begitu banyak tugas dan kita dipaksa untuk menyelesaikannya dengan cepat dan sebaik mungkin. Kita memang didorong untuk melakukan terobosan dan inovasi baru, tetapi selanjutnya kita tidak diajari untuk mengelolanya menjadi sebuah kesempatan untuk memandirikan negara ini. Dalil yang paling sering muncul, bahwa dengan investasi dari luar maka bisa dilakukan percepatan pembangunan, dan perusahaan dari luar negara ini masuk mengelola sumber daya alam yang kita miliki.

Dan sayangnya, sebagian instansi pendidikan yang ada di negara ini menyelenggarakan pendidikannya agar ada orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk bekerja membantu perusahaan para investor ini dan itu mengelolanya dan mengumpulkan banyak emas (harta/uang) dari nya. Ada yang mengatakannya dengan gamblang, bahwa pendidikan negara ini menciptakan babu di negara nya sendiri. Tapi ini hanyalah pendapat orang, dan semua bebas berpendapat di Negara ini. Itu tak sepenuhnya benar juga tak sepenuhnya salah, mungkin mereka yang mengatakan demikian karena mereka telah berusaha untuk mengelola sumber daya yang ada di negara ini namun terhalang oleh banyak hal.

Sistem pendidikan yang diciptakan penuh dengan kompetensi dan syarat yang semakin hari semakin melangit untuk menyeleksi calon mesin penghasil uang para pemilik modal, membentuk parameter nilai yang membuat para mahasiswa tergiur melakukan berbagai upaya. Misalnya, untuk memasuki beberapa perusahaan yang memiliki gaji yang besar, maka harus memiliki IPK(indeks prestasi kumulatif ) diatas 3,00 dari skala 4,00. Maka berbagai cara dilakukan agar mendapat nilai yang besar, bahkan meskipun harus menyontek. Atau ada juga yang benar-benar belajar sehingga mengabaikan yang lainnya. Sehingga pengetahuan dan wawasannya terkurung oleh aktivitas belajarnya yang padat.

Sampai dengan batas tertentu ada orang lain yang gelisah dengan kebiasaan ini dengan menulis suatu tulisan berjudul "IPK adalah candu". Apakah ini menyedihkan atau suatu hal yang wajar, tapi ini cukup membuktikan bahwa pendidikan yang 12 tahun sebelumnya hanya menciptakan orang-orang yang berambisi untuk memperoleh masa depan yang enak, dan itu merupakan sebagai pekerja, apapun pangkatnya. Meski sebagian kecil lainnya memilih lainnya dan menjadi seorang boss.

Sayangnya, kebutuhan akan keuangan di berbagai kalangan, meski kondisi pendidikan yang sudah seperti ini tidak membuat sadar banyak orang bahwa ada yang aneh dengan sistem pendidikan di negeri ini. Bahkan yang dari jurusan pendidikan pun, meskipun mereka sadar bahwa sistem pendidikan di negara ini yang 12 tahun itu penuh dengan kontroversi, bukan malah berusaha memperbaiki malah mencoba untuk berkompetensi kembali memenuhi kebutuhan. Mereka mengajar murid karena gaji, mereka mengajar murid supaya muridnya menjadi pintar dalam bidang ini dan itu agar nanti bisa masuk ke perguruan tinggi dan dapat bersaing dengan persaingan global, dan hanya sedikit yang perhatian terhadap anak-anak yang sangat tak jenius dan memberikan mereka pengarahan untuk melakukan apa yang seharusnya.

Yang lucu lagi, ada yang memanfaatkan kecemasan persaingan global dengan mendirikan bimbel dan kursus-kursus disana dan disini agar dapat bersaing dan belajar lebih banyak lagi. Dan orang pemilik gelar pendidik di negara ini mencari uang dalam instansi ini. Lalu, bagaimana menurut kalian kejamnya sistem pendidikan ini?

Menjadi lulusan dengan bekal nilai tinggi, skill apik, dan prestasi yang membanggakan Intansi Pendidikan Perguruan Tinggi, nyatanya tak menjamin masa depan. Seberapa pun hebat mereka, nyatanya sebagian besar lulusan sukses dan membanggakan secara parameter pendidikan ini, hanyalah menjadi seorang pekerja, meskipun tingkat dan gajinya ada yang besar dan kecil. Lucunya, malah orang-orang yang memiliki nilai dengan standar menengah ke bawah, malah bisa membuat rancangan usaha dan memberikan lapangan kerja. Sampai muncul statement, yang IPKnya di bawah 2,75 an, malah menjadi pengusaha, yang berada kisaran 2,8--3,50 menjadi pekerja dengan gaji yang bervariasi, mulai besar sampai sedang, dan yang IPK nya diatas 3,50 menjadi pendidik/dosen/lainnya. Jadi, sebenarnya sistem di negara ini menciptakan orang-orang pandai atau menciptakan para pekerja yang pandai?

Dan kini aku akhirnya dapat menuliskan sebagian besar dari keresahan pendidikan ini. Semua kegelisahan ini mungkin sudah ada yang pernah menuliskannya, dan sudah begitu banyak solusi yang diajarkan. Tapi kemudian bagaimana selanjutnya kita bertindak dan akan menjadi apa kita, semoga tulisan ini dapat membuat para pembanca kembali memikirkan tentang apa yang mau ia lakukan di bumi Allah, di negara ini. Tentang sistem pendidikannya, tentang kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan manusianya. Dan saya ucapkan Terimakasih, semoga tulisan ini bisa bernilai pahala di sisi Allah Azza wa Jalla...Aamiin

0 komentar:

Pendidikan Untuk Para Pekerja - Terus Terang



Saya adalah seorang yang berhasil menyelesaikan studi S1 nya dalam waktu 4,6 tahun, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lama. Tentu dengan indeks kumulatif yang tidak mengecewakan secara angka, tetapi aku tidak dapat bertanggung jawab mengenainya kecuali sedikit saja. Kuliah di jurusan Teknik Elektro, tentang analisis dan rekayasa elektrik, berharap dapat memperoleh peluang kerja yang luas karena semua teknologi yang berkembang saat ini menggunakan listrik. Tapi kenyataannya sampai sekarang saya juga belum dapat memperoleh pekerjaan. Lalu apa yang salah ? Mungkin saya yang salah. Tapi rasanya tidak adil jika saya hanya menyalahkan diri sendiri. Coba kita runut dan mencari benang merahnya sejak pendidikan di negara ini dioperasikan.

Sejak kecil, anak dididik oleh orang tuanya supaya menjadi orang yang memiliki etika dan berbaur masyarakat. Lalu, kemudian di sekolahkan supaya memiliki bekal ilmu dan nantinya dapat memiliki peran atau posisi di masyarakat. Namun beriring waktu berjalan, perkembangan teknologi diberbagai bidang yang pesat, membuat dasar-dasar nilai pendidikan bergeser. Ya, karena ini juga didorong oleh kebutuhan dan keinginan yang mendukung nilai konsumtif  pada masyarakat.

Sejak pendidikan tingkat dasar kita diberikan nilai pendidikan yang sama rata, dengan pelajaran yang sama. Semua coba disetarakan dan dijadikan seragam. Mulai dari standar dan nilainya, pakaiannya, pelajaran yang diberikan. Lalu kesemuanya diberikan peringkat dengan adanya parameter penilaian. Sayangnya parameter penilaian yang digunakan bukan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan kemudian itu yang dijadikan fokus bagaimana anak ini akan diarahkan, apa saja yang bisa ia kembangkan dengan bekal nilai yang segitu. Tetapi nilai dan parameter yang dibuat digunakan untuk merangking/memberi peringkat kepada anak-anak (siswa). Peringkat ini kemudian dijadikan sebagai penilaian bahwa ini adalah anak jenius dan ini adalah anak yang sangat tidak jenius. Anak yang jenius kemudian akan diberi perlakuan khusus, diberi jam tambahan dan diikutkan perlombaan agar dapat bersaing dan siap menjadi pemenang. Lalu bagaimana dengan yang sangat tidak jenius?

Bagi mereka yang tidak jenius akan diperlakukan sebisanya, diminta belajar semampunya. Yang penting bisa lulus sesuai standar, jika tidak lulus maka diusahakan lulus dengan berbagai usaha yang baik. Ya, karena kalau sampai ada anak yang tidak lulus dari sekolah, maka instansi akan mendapat nilai yang tidak baik dan kemungkinan siswa yang mendaftar ke sekolah itu akan berkurang. Tapi bukan itu masalahnya, mereka yang tidak jenius kebanyakan tidak diarahkan kemana kemudian mereka harus mengembangkan diri untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Sehingga mereka kebingungan untuk melanjutkan sekolah, dan ini membuat sebagian siswa tertekan. Masalah lain pun muncul, siswa yang tertekan karena sekolah dengan keterpaksaan, mengalami stress. Mereka pun sebisa mungkin menghilangkan stress dengan berbagai cara, dan tidak sedikit yang melakukan penyimpangan yaitu kenakalan remaja. Dan ini terjadi sampai mereka melampaui pendidikan Sekolah menengah atas.

Upaya pemerintah dalam menangani hal ini sebenarnya juga tak kurang-kurang, yaitu dengan memberi iklan yang begitu banyak dan sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat. Karena kita juga tidak memungkiri bahwa perlakuan menyimpang juga dikarenakan oleh pesatnya layanan informasi, sehingga semua bisa diakses dimana saja dan kapan saja. Sayangnya, di lain hal, mungkin di lain  divisi dari pemerintah juga merancang kurikulum yang tidak kalah gilanya. Menaikkan kurikulum dan membebani siswa dengan semakin banyak materi yang sebagian besar dari mereka sebenarnya sudah terbebani dengan materi yang ada, karena mereka siswa yang sangat tidak jenius. 

Alasannya karena persaingan global yang kuat, maka digembor-gemborkan agar siswa belajar lebih giat lagi dalam berkompetensi. Dan lagi-lagi sistem ini membuat manusia yang sangat tidak jenius tersiksa dan tidak bisa melakukan apa-apa setelah lulus dari sekolah. Orang-orang jenius menjadi sebuah mesin hitung yang cepat, mesin analisis yang cerdas dan mesin kerja yang produktif. Jadi sebenarnya orang-orang yang melanjutkan pendidikan dalam sistem ini yang seperti apa?

Sebelum dibahas lebih lanjut, ada elemen masyarakat yang juga terpengaruh oleh doktrin sistem ini yang sebenarnya penting perannya dalam pendidikan. Adalah orang tua, keluarga dan warga lingkungan tempat seorang anak berkembang. Wejangan-wejangan yang diberikan orang tua untuk membuat anaknya agar terus melanjutkan pendidikan kebanyakan supaya nanti anaknya dapat memperoleh pekerjaan yang baik dan memiliki kehidupan yang mapan. Belum lagi yang memahami pentingnya pendidikan dengan mentah-mentah, bahwa pendidikan anak adalah dengan menyekolahkannya. Jika kita sambungkan dengan mahalnya biaya sekolah, maka ini membuat orangtua bekerja lebih keras, menghabiskan waktu lebih banyak pada pekerjaannya dan justru membuat orang tua juga stress.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah orang tua yang memiliki stress tinggi ini membawanya ke dalam rumah yang merupakan waktu bertemunya dia dan anaknya. Sehingga anak benar-benar tidak menemui keteduhan di dalam rumah untuk mengurangi stressnya di sekolah, malah mendapatkan tekanan lagi ketika dari orang tuanya dengan mengatakan bahwa biaya sekolahnya mahal, jadi kamu belajar yang giat. Dan lucunya langkah yang diambil pemerintah adalah dengan menambah waktu sekolah sampai sore agar siswa tidak melakukan perbuatan menyimpang. Jadi siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas menyimpanganya para remaja?

Bersambungnya pada part berikutnya.

0 komentar:

MENJADI MAHASISWA BARU

Juli 18, 2019 , 0 Comments



Setelah lulus SMA, sudah pengumuman lulus, dan juga sudah diterima di Perguruan Tinggi. Dan langkah selanjutnya yang dilakukan adalah dengan mengikuti peraturan yang telah dibuat. Salah satunya mengurusi administrasi dan menyelesaikan segala urusan di SMA dulu. Kuliah, menjadi pilihan ku setelah lulus SMA. Dan itu benar-benar menjadi pikiran sejak awal masuk semester 5 atau semester 1 kelas 12. Dan saya pikir, sebagian besar dari kami, atau anak SMA pikirkan ketika memilih jurusan di perguruan tinggi adalah prospek kerja.

Bahwa jurusan ini sangat menjanjikan dan sedang sangat dibutuhkan, bahwa jurusan ini pada beberapa tahun nanti akan begini dan begitu, bahwa jika mengambil jurusan ini dan bisa bekerja disini akan mendapat kan gaji sekian dan sekian. Selain itu juga menggunakan pertimbangan nilai raport yang paling besar dan yang paling bagus. Bila nilai matematikanya bagus, berarti aku akan mengambil jurusan ini dan itu, jika nilai kimia ku bagus, maka aku akan mengambil jurusan ini dan itu.

Dan kini aku sadar, semua pertimbangan yang digunakan untuk menentukan akan kemana aku melanjutkan pendidikan dan jurusan apa yang akan aku pilih waktu itu menggunakan standar yang sangat standar sekali.

Tapi bukan ini yang akan aku bahas kali ini, melainkan bagaimana ketika menjadi mahasiswa baru. Tepat setelah wawancara beasiswa bidikmisi setelah pengumpulan berkas administrasi, maka hari-hari dipenuhi rasa penasaran akankah berkasnya lolos dan diterima beasiswanya. Di lain sisi, bagaimana kalau diterima dan aku akhirnya menjadi mahasiswa baru. Sebelumnya ketika menjelang akhir masa di SMA, aku juga pernah merasakan kekhawatiran yang sama, melihat begitu banyak kasus yang menimpa mahasiswa.

Mulai dari hamil dan melahirkan di dalam kosan tanpa ada yang tahu, perekrutan organisasi-organisasi radikal yang bermuara pada kesesatan dan ajang terorisme, juga beberapa kasus agenda pemurtadan yang terjadi. Maka mencari dan mengumpulkan informasi dari senior waktu itu menjadi hal yang penting bagiku dan kebetulan memang ada guru muda lulusan dari Universitas yang menerimaku waktu itu.

Singkat cerita, berkasku lolos dan pengajuan bidikmisiku diterima. Dan dimulailah dunia ku sebagai mahasiswa baru. Dan kau tahu, sebagai mahasiswa yang baru masuk dan tidak memiliki banyak pengetahuan dan merasa tidak banyak tahu, tidak memiliki banyak pilihan kecuali menerima apa yang dibagi oleh senior yang telah terlebih dahulu menjadi mahasiswa dan mengikuti arahan dosen ataupun civitas kampus yang berwewenang. Hanya saja ada beberapa orang yang punya pendirian kuat, maka mereka menjadi yang paling dominan juga yang paling keras kepala. Namun juga ada yang tanpa ilmu yang cukup merasa paling benar dan menyalahkan yang lainnya.

Aku yang telah banyak bertanya terlebih dahulu soal bagaimana lingkungan universitas juga fakultas, telah memberi batas-batas untuk menerima doktrin yang masuk dari berbagai sumber. Disinilah sebenarnya kita dibentuk pemikirannya. Kita benar-benar mengahadapi suasana yang berbeda dari sebelumnya, dari masa yang terjadwal dan teratur dimana yang bertanggung jawab adalah instansi untuk menertibkan siswanya, kepada yang juga terjawab dan teratur namun tanggungjawabnya diletakkan kepada mahasiswa.

Sehingga jadwal yang sudah dibuat dapat berjalan dengan baik atau tidak tergantung dari perorangan. Dan aturan yang telah dibuat sepenuhnya baik atau tidaknya tergantung dari mahasiswa yang ada didalamnya.

Menjadi mahasiswa baru harus benar-benar belajar dengan cepat, menerima semua informasi lalu menyaringnya, dan mencerna serta memahami informasi yang masuk dari berbagai sudut pandang lalu disesuaikan dengan apa yang menjadi kekuatan bagi kita. Inilah nanti yang membentuk karakter dan wawasan, yang membuat kita jauh lebih dewasa dan bertanggung jawab. Sayangnya, beberapa mahasiswa yang berfikir bahwa nilai adalah segalanya, menjadi manusia menyebalkan dan terlambat berkembang menjadi dewasa.

Pasalnya, apapun yang menghalangi mereka untuk meraih nilai yang besar dan sempurna akan disingkirkan. Belum lagi, mereka selalu mencari sesuatu untuk disalahkan, meski yang paling bijak dari tipe ini adalah yang menjadikan dirinya sendiri paling disalahkan atas apa yang perbuat. Masalahnya ini membatasi mereka untuk berkembang.

Menjadi mahasiswa, kamu juga akan dinilai masyarakat sebagai seseorang yang memiliki kesempatan lebih dari pada yang lainnya. Dan kamu harus siap dilebihkan dan mengambil peran di masyarakat. Maka carilah yang paling bisa membuatmu bertahan dari setiap penderitaan dan pengalaman yang akan didapatkan sebagai mahasiswa. Jadilah mahasiswa yang tidak mengerti kata menyerah, tetapi memahami kata memilih lebih dari siapapun.

Karena menyerah menghentikannya, tetapi memilih memang kadang membuatmu gagal di bagian ini tetapi berusaha dan optimis kembali dibagian itu. Dan jadilah orang yang bertanggung jawab atas apa yang kau terima, juga jadilah yang peduli kepada kebenaran. Karena kebenaran tak pernah mengajarimu untuk mencontek demi mendapatkan nilai yang baik, untuk mengabaikan semua teman-temanmu juga keluarga demi ambisimu. Tapi ia memilih mana yang lebih penting dan lebih baik untuk dia dan masa depannya sesuai dengan pemahamannya terhadap ilmu.

0 komentar: