Pendidikan Untuk Para Pekerja - Terus Terang



Saya adalah seorang yang berhasil menyelesaikan studi S1 nya dalam waktu 4,6 tahun, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lama. Tentu dengan indeks kumulatif yang tidak mengecewakan secara angka, tetapi aku tidak dapat bertanggung jawab mengenainya kecuali sedikit saja. Kuliah di jurusan Teknik Elektro, tentang analisis dan rekayasa elektrik, berharap dapat memperoleh peluang kerja yang luas karena semua teknologi yang berkembang saat ini menggunakan listrik. Tapi kenyataannya sampai sekarang saya juga belum dapat memperoleh pekerjaan. Lalu apa yang salah ? Mungkin saya yang salah. Tapi rasanya tidak adil jika saya hanya menyalahkan diri sendiri. Coba kita runut dan mencari benang merahnya sejak pendidikan di negara ini dioperasikan.

Sejak kecil, anak dididik oleh orang tuanya supaya menjadi orang yang memiliki etika dan berbaur masyarakat. Lalu, kemudian di sekolahkan supaya memiliki bekal ilmu dan nantinya dapat memiliki peran atau posisi di masyarakat. Namun beriring waktu berjalan, perkembangan teknologi diberbagai bidang yang pesat, membuat dasar-dasar nilai pendidikan bergeser. Ya, karena ini juga didorong oleh kebutuhan dan keinginan yang mendukung nilai konsumtif  pada masyarakat.

Sejak pendidikan tingkat dasar kita diberikan nilai pendidikan yang sama rata, dengan pelajaran yang sama. Semua coba disetarakan dan dijadikan seragam. Mulai dari standar dan nilainya, pakaiannya, pelajaran yang diberikan. Lalu kesemuanya diberikan peringkat dengan adanya parameter penilaian. Sayangnya parameter penilaian yang digunakan bukan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan kemudian itu yang dijadikan fokus bagaimana anak ini akan diarahkan, apa saja yang bisa ia kembangkan dengan bekal nilai yang segitu. Tetapi nilai dan parameter yang dibuat digunakan untuk merangking/memberi peringkat kepada anak-anak (siswa). Peringkat ini kemudian dijadikan sebagai penilaian bahwa ini adalah anak jenius dan ini adalah anak yang sangat tidak jenius. Anak yang jenius kemudian akan diberi perlakuan khusus, diberi jam tambahan dan diikutkan perlombaan agar dapat bersaing dan siap menjadi pemenang. Lalu bagaimana dengan yang sangat tidak jenius?

Bagi mereka yang tidak jenius akan diperlakukan sebisanya, diminta belajar semampunya. Yang penting bisa lulus sesuai standar, jika tidak lulus maka diusahakan lulus dengan berbagai usaha yang baik. Ya, karena kalau sampai ada anak yang tidak lulus dari sekolah, maka instansi akan mendapat nilai yang tidak baik dan kemungkinan siswa yang mendaftar ke sekolah itu akan berkurang. Tapi bukan itu masalahnya, mereka yang tidak jenius kebanyakan tidak diarahkan kemana kemudian mereka harus mengembangkan diri untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Sehingga mereka kebingungan untuk melanjutkan sekolah, dan ini membuat sebagian siswa tertekan. Masalah lain pun muncul, siswa yang tertekan karena sekolah dengan keterpaksaan, mengalami stress. Mereka pun sebisa mungkin menghilangkan stress dengan berbagai cara, dan tidak sedikit yang melakukan penyimpangan yaitu kenakalan remaja. Dan ini terjadi sampai mereka melampaui pendidikan Sekolah menengah atas.

Upaya pemerintah dalam menangani hal ini sebenarnya juga tak kurang-kurang, yaitu dengan memberi iklan yang begitu banyak dan sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat. Karena kita juga tidak memungkiri bahwa perlakuan menyimpang juga dikarenakan oleh pesatnya layanan informasi, sehingga semua bisa diakses dimana saja dan kapan saja. Sayangnya, di lain hal, mungkin di lain  divisi dari pemerintah juga merancang kurikulum yang tidak kalah gilanya. Menaikkan kurikulum dan membebani siswa dengan semakin banyak materi yang sebagian besar dari mereka sebenarnya sudah terbebani dengan materi yang ada, karena mereka siswa yang sangat tidak jenius. 

Alasannya karena persaingan global yang kuat, maka digembor-gemborkan agar siswa belajar lebih giat lagi dalam berkompetensi. Dan lagi-lagi sistem ini membuat manusia yang sangat tidak jenius tersiksa dan tidak bisa melakukan apa-apa setelah lulus dari sekolah. Orang-orang jenius menjadi sebuah mesin hitung yang cepat, mesin analisis yang cerdas dan mesin kerja yang produktif. Jadi sebenarnya orang-orang yang melanjutkan pendidikan dalam sistem ini yang seperti apa?

Sebelum dibahas lebih lanjut, ada elemen masyarakat yang juga terpengaruh oleh doktrin sistem ini yang sebenarnya penting perannya dalam pendidikan. Adalah orang tua, keluarga dan warga lingkungan tempat seorang anak berkembang. Wejangan-wejangan yang diberikan orang tua untuk membuat anaknya agar terus melanjutkan pendidikan kebanyakan supaya nanti anaknya dapat memperoleh pekerjaan yang baik dan memiliki kehidupan yang mapan. Belum lagi yang memahami pentingnya pendidikan dengan mentah-mentah, bahwa pendidikan anak adalah dengan menyekolahkannya. Jika kita sambungkan dengan mahalnya biaya sekolah, maka ini membuat orangtua bekerja lebih keras, menghabiskan waktu lebih banyak pada pekerjaannya dan justru membuat orang tua juga stress.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah orang tua yang memiliki stress tinggi ini membawanya ke dalam rumah yang merupakan waktu bertemunya dia dan anaknya. Sehingga anak benar-benar tidak menemui keteduhan di dalam rumah untuk mengurangi stressnya di sekolah, malah mendapatkan tekanan lagi ketika dari orang tuanya dengan mengatakan bahwa biaya sekolahnya mahal, jadi kamu belajar yang giat. Dan lucunya langkah yang diambil pemerintah adalah dengan menambah waktu sekolah sampai sore agar siswa tidak melakukan perbuatan menyimpang. Jadi siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas menyimpanganya para remaja?

Bersambungnya pada part berikutnya.

adwan-adidarmawan.blogger.com

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: