Rasa yang Di Nalarkan
Mendung pagi itu, berkemul dengan embun dan cahaya redup di halaman rumah. Sesekali kenangan ini membias mengikuti mentari yang tak kunjung muncul, semangat itu memadam penuh kecurigaan. Masih pagi-pagi, dianya tak kunjung ceria padahal begitu banyak hal menanti untuk dikerjakan.Ah, lagi-lagi hati ini menyematkan rasa dan jari ini begitu mudah menyampaikan dalam bahasa santun yang menusuk. Ntah bagaimana ia merasa, nyatanya rasa memang mempengaruhi gerak jasmaniyah, nyatanya peran ruhiyah lebih tegas dari peran jasmaniyah. Mungkin karena kendurnya kajian yang diikuti, padahal sudah kularikan pada buku-buku penggugah, tapi ia-nya tetap saja mendiami tempat yang penuh dengan jejak-jejak kepergian.
Baru kemarin sore rasanya ku sambung tali yang mulai memudar, pagi ini ia-nya ingin lebih. Dan lagi-lagi tahu caranya menyekat dan menyesakkan rongga hati. Ah, apakah aku masih bicara cinta, padahal kiranya ia telah lari pergi terakibat aku-nya yang senantiasa memainkan. Ah, aku kira ia-nya telah kapok, sekiranya aku sudah menempatkannya dengan benar dalam porsi yang tepat. Kenyataannya ia masih gentayangan dan semaunya hadir tanpa permisi.
lama kiranya, setelah tulisan dengan judul merindukanmu sederhana saja, hingga kini baru lagi tertulis sajak penuh akan syarat curahan hati. Mungkin saja bisa jadi pelajaran bagi yang bermain dengan cinta agar senantiasa berhati-hati dalam jeratnya yang mengikat ke dasar bumi. Enggan melangit, meratap pada tepi senja yang sesaat. Penuh dengan dera hujan dan bising dengan suara nasihat. Begitulah dia menjerat, menidurkan kesadaran dalam balutan keduniaan. Menjebak batin dalam lukisan dan ironi ilusi kefanaan.
Sekilas mata ini tersilap cahaya, dan membuka lamunan serta khayalan panjang. Ternyata rasa itu terlalu egois dengan pendapatnya. Teguran paling sederhana, dalam bentuk sapaan ringan, tempat berlari yang tak mau di singgahi, senyum jahat tapi tulus, kejujuran rasa yang bebas tanpa terikat. Dia nya berkata, mungkin kamu sedang lapar. Bibir ini bergetar tak bisa menahan tawa, dan getarnya pun membangunkan jiwa. Ah, iya.. Aku lupa, rasa juga perlu dinalarkan dalam kerja-kerja amal. Bukanlah hayalan penuh dengan kekosongan, kosong dari pembuktian dan kosong dari harapan. Bukanlah sebuah harapan yang menggantung pada dasar yang rendah, tapi harus ke tali yang terhubung melangit, yaitu syariat.
Rasa yang di nalarkan, ia nya pagi ini mampu menyelamatkan asa yang melambung tak jelas. Membangunkan jiwa yang tertidur pulas. Menggugah jasmani yang bergerak malas. Ia nya menggetarkan hati yang mulai tak waras, kata-kata yang mengutuk keras, akal yang hilang terampas, juga khawatir yang menyebabkan was-was.
Rasa yang dinalarkan, disitulah kita hidup. Di alam nyata, bukan di alam rasa. Yang dibenarkan adalah Iman disertai amal shaleh. Bukan iman saja, juga bukan amal shaleh saja. Tapi keduanya dalam satu kepaduan yang sama. Terikat kuat, kekasih yang tak terpisahkan. Iman yang terbukti dengan tindakan berbentuk amal shaleh. Rasa pun demikian, adalah cerminan dari keduanya. Rasapun harus disertai dengan nalar. Dan Nalarpun harus yang sehat, bukan sekedar nalar.
Begitulah rasa yang dinalarkan, berfikirlah sebagai tuan yang bertuhan. Dan merdekalah dalam beriman. Mungkin cukup sekian dalam pembahasan kali ini, bersambung di tulisan berikutnya..
0 komentar: