Beberapa waktu ini tertarik dengan fenomena yang ada pada masyarakat. Sebenarnya ini sudah menjadi kebiasaan, atau mungkin malah menjadi kebiasaan umum manusia. Dimana saat ini Indonesia bagian Barat, terutama di pulau sumatra, khususnya di Lampung sedang musim kemarau. Dimana hari-hari terlewati begitu terik tapi hujan juga tak mau mampir sejenak. Mungkin beberapa kali awan yang sedikit hitam sempat berkumpul, namun angin buru-buru menyapunya dan membawa pergi awan hitam itu. Jalan-jalan juga menjadi penghasil debu paling banyak. Sampai sampai daun yang hijau tertutup oleh debu yang coklat.
Tapi yang paling menarik dibahas adalah manusianya. Sebenarnya tidak ada efek yang berarti kemarau ini kepada fisik manusia langsungnya, kecuali mungkin sedikit batuk-batuk karena setiap hari melewati jalan berdebu. Tapi keluhan-keluhan yang muncul dari kemarau inilah yang menarik.
Beberapa atau sebagian banyak orang mengeluhkan kemarau yang agak panjang ini, karena memang sudah 3 tahun ini musim lebih di dominasi dengan musim hujan meski ada kemaraunya tetapi tidak sampai mengeringkan sungai. Tapi bagi petani, dimana sudah sekitar 3 musim panen yang gagal karena penyakit atau juga banjir. Maka sebenarnya kemarau ini adalah kesempatan yang bagus bagi yang memiliki sawah dekat dengan sungai. Sayangnya air sungai pun mulai mengering. Dan sebagian besar petani pun mengeluhkannya.
Kabar baiknya, masjid dan mushalla kini makin banyak jamaahnya. Ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang makin sadar bahwa yang memberikan rezeki adalah Allah swt. Maka mereka banyak berdoa untuk memohon agar turun hujan. Ya, walaupun jumlahnya masih sebagian kecil yang sadar ketimbang yang tidak, tapi setidaknya kemarau memberi keinsyfan.
Di lain orang, beberapa ada yang terus memilih pergi mencari pekerjaan di kota dan meninggalkan mata pencaharian mereka sebagai petani. Tapi ini juga di dukung karena hasil panen yang tak lagi bagus dan harga/modal awal untuk menanam yang terlalu mahal. Di tambahi dengan kebutuhan hidup yang semakin hari semakin maha, dan akses apapun yang semakin mudah membuat tingkat konsumtifitas masyarakat bertambah.
Tapi di lain waktu, ketika turun hujan deras yang rutin dan berangsur-angsur, seperti kejadian pada awal 2018 kemarin yang hampir menyebabkan seluruh bagian dari lampung terkena bagian banjir. Lagi-lagi, hujan yang terlalu sering juga banyak membuat orang mengeluh. Terutama yang bekerja di pabrik, atau kantoran. Karena itu menghambat produktifitas mereka. Juga beberapa ibu-ibu yang jemurannya tak kunjung kering sampai 3 hari numpuk. Belum jalan-jalan tanah di daerah tertentu yang belum di batu ataupun di aspal menjadi penghalang aktifitas.
Jika kita menganggap hujan adalah pemberian dari Allah, kelebihan pemberian bisa jadi membuat kita mengeluh karena dampaknya yang tidak siap kita kelola dan syukuri. Jika kita anggap kemarau sebagai ujian kemiskinan, karena kekurangan air dimana-mana, sedang air adalah kebutuhan pokok. Maka kemarau adalah ujian. Dan jika amati dengan seksama, bahwa ujian kemarau lebih banyak menyadarkan manusia daripada musim hujan. Padahal kalau kita amati, bencana banjir lebih mengerikan di Indonesia, karena bisa menyapu bersih harta, ketimbang kemarau yang hanya membuat kita mungkin kehausan dan harus mengungsi untuk memperoleh air.
Jika kita memahami hal di atas, kita tarik variabel nya air, dan menggantinya dengan harta, maka dugaanku adalah cobaan harga melimpah lebih membahayakan dari pada kemiskinan. Karena di Indonesia sendiri, kayu di tancapkan masih bisa hidup dan menghasilkan makan (singkong), kecuali beberapa tempat khusus seperti di kota. Ya, kalau kita amati, cobaan miskin di Indonesia paling sampai pada membuat orang keluar dari agama satu pindah ke agama lain karena iming-iming makanan. Tapi cobaan harta melimpah, membuat orang menjadi setan dan juga menjadi orang munafik. Dan kita pasti tahu, bahwa orang munafik terletak pada neraka paling bawah.
Jadi apa masalahnya? adalah bagaimana kondisi keimanan yang ada pada masyarakat. Orang Indonesia adalah orang yang sangat religius kok. Hanya saja ada yang tauhid nya salah, atau sekalian sesat. Tidak ada yang tidak percaya kepada yang ghaib, ya kalau nggak percaya sama Allah ya percaya kepada nenek moyang. Jarang yang tidak percaya tuhan, paling beberapa orang hasil bentukkan ideologi dari luar demi menguasai harta yang ada di Indonesia.
Dan inilah menjadi PR kita semua, yang mengaku sebagai muslim, adalah pembenahan tauhid. Maka berangkatlah dari iman, karena dengan iman kita akan lebih mensyukuri apa yang Allah berikan kepada kita apapun kondisinya.
Suatu waktu, ketika kamu sedang di penuhi rasa semangat dan percaya diri yang tinggi, kamu pergi ke tempat temanmu. Lalu ketika sampai di sana ada seorang yang pernah akrab denganmu, lalu karena satu dua hal, kamu menghindar. Dan tiba-tiba kamu menjadi canggung, semua rasa percaya dirimu hilang. Ini membunuh benar-benar terasa begitu tidak mengenakkan. Dan juga membuatmu tidak bisa melakukan banyak hal karena kamu merasa canggung dengan orang tersebut.
Perasaan canggung biasanya terjadi karena satu dua hal yang belum selesai oleh orang atau kelompok yang berkaitan. Atau mungkin akibat satu atau dua kesalahan yang pernah kamu buat dan tidak kamu komunikasikan dengan baik dengan orang atau kelompok tersebut. Sehingga kamu merasa asing kembali, ntah itu karena kamu terkukung akibat kesalahanmu atau karena orang tersebut mengasingkan mu. Tapi apakah ini akan kamu biarkan begitu saja, sedangkan kamu juga masih belum mati, dan dia atau mereka pun belum mati. Maka satu dua hal itu masih saja bisa menghantuimu kapan saja dan itu membatasimu oleh banyak hal pula.
"Selesaikan", kata seorang teman bijak, "apa-apa yang satu dua hal itu. Sampaikan pula sesuatu yang mengganggu pikiranmu, karena satu dua hal yang nggak selesai itu akan tetap menjadi tanggung jawabmu." Ya, intinya kamu harus menyelesaikan masalah yang ada pada dirimu, bukan meninggalkannya, lalu pergi begitu saja. Apalagi jika berhubungan dengan orang lain, jika cuma masalah mu sendiri, maka ini hanya soal kapan kamu berhenti memikirkannya saja. Tapi jika itu terkait dengan orang lain maka satu dua hal itu akan terpikir kembali jika kamu bertemu dengan orang yang terkait.
Ada juga buku yang mengajarkan untuk bersikap bodo amat. Kamu tidak harus memperhatikan banyak hal yang bisa mengganggu mu, kamu hanya perlu memperhatikan hal-hal yang menjadi prioritas. Tetapi dalam buku itu juga meminta kita agar menyelesaikan apa yang sudah di lakukan. Hal itu juga meminta untuk tetap berjuang untuk hal yang menjadi prioritas kita, dan bersikap bodo amat terhadap nyinyiran yang lain. Selama itu benar, maka lakukanlah. Tetapi memendam sesuatu persoalan dan mengendapkannya dalam rasa tanpa pernah menyampaikannya, prinsip untuk bersikap bodo amat tak sepenuhnya berlaku. Karena masalahnya bukan pada orang lain disekitarmu, tapi ada pada dirimu sendiri.
Maka selesaikanlah. Jika harus meminta maaf, meminta maaflah. Jika harus memaafkan, maafkanlah. Karena perjalanan hidup di dunia pasti akan berakhir, maka jangan sampai kau habiskan waktumu untuk berseteru karena canggung satu berpadu dengan canggung dua dan tiga. Yang bisa saja menjadi sebab adanya kesibukan dirimu menyalahkan orang lain bukan malah memperbanyak diri dalam berdzikir mengingat Allah, yang menjadi sebab kamu tidak leluasa untuk memberi manfaat, menebar kebaikan, ber amar ma'ruf nahi mungkar di muka bumi karena bertemu dengan ini dan itu.
Yuk, selesaikan satu-satu masalah yang ada pada diri kita dan selesaikan permasalahan terkait satu dua pihak yang terhubung, agar kita bisa memaksimalkan amal untuk bekal kembali akhirat. Siapa tahu, dia yang kau mintai maaf, nantinya menjadi tetanggamu di surga.
Berangkat dari iman, kita semua melakukan sesuatu karena Allah. Kita percaya bahwa satu dua hal yang kita kerjakan adalah amal untuk bekal kembali, dan relasi yang kita buat adalah semata-mata menjalin advokasi di akhirat kelak. Berangkat dari iman, kita semua berharap amal kita utuh di akhirat kelak, bukan habis karena hutang atau hak orang yang belum kita lunasi di dunia.
Dunia masih menyimpan banyak misteri, meskipun sains menjadi ilmu pasti yang menarik, meskipun sains masih banyak menyimpan misteri yang juga mendebarkan, tapi sosial jauh lebih kompleks dari sekedar ilmu sains. Terbiasa dengan ilmu sains yang ilmunya jelas, hanya butuh analisis dan pengujian, sosial benar-benar luas dan kompleks karena melibatkan banyak hal yang sangat beragam. Mungkin itu sebabnya, ada adab dan etika dalam pergaulan, karena ia melibatkan rasa dan juga asa, karena ia juga melibatkan unsur lain selain perhitungan yang jelas.
Dan hal itu semua bagiku baru dan menarik, apalagi orang dengan kemampuan matematika dan analisis, yang dari dulu menjadi seorang pengrajin belajar, maka ilmu sosial menjadi menarik setelah kehidupan menjadi siswa berakhir. Karena soal orang, mulai dari karakter dan ketertarikan, sangat beragam sebanyak manusia yang ada di muka bumi ini. Walaupun dalam garis besar, banyak psikilog yang mengelompokkan manusia dalam beberapa kepribadian, tapi seutuhnya kepribadian setiap orang tak pernah sama persis, tapi sebagian besar mirip. Sama hal nya kembar indentik, meski sama, pasti tetap berbeda, misal jumlah rambut dan panjangnya.
Tetapi dua paragraf di atas hanya pembukaan saja, saya tidak akan membahasnya karena memang tidak mumpuni dalam ilmunya. Tetapi beberapa keresahan, dan juga pemikiran dari fakta yang ada, dengan alasan diatas, seperti nya memang membutuhkan basa-basi terlebih dahulu. Ya, selama menjadi pengangguran (dalam tanda kutip), setidaknya sudah banyak saya bersentuhan langsung di masyarakat, meski dengan sedikit orang saja. Dan satu yang ingin saya bahas kali ini adalah menyoal dukungan dari orang yang kita percayai.
Pada saat tertentu, untuk jalan yang kita pilih selanjutnya, kita akan butuh banyak pertimbangan pada orang yang telah terlebih dahulu menjalaninya. Kita akan dipertemukan pada banyak persimpangan, dan kamu harus memilih salah satu jalan untuk sampai ke tujuan. Tentu, setiap persimpangan beberapa sampai kepada tujuan yang sama, tetapi setiap jalan memiliki medan nya masing-masing. Dan inilah yang perlu kamu pilih, dan kamu membutuhkan seseorang untuk dimintai pendapatnya.
Kita terkadang sudah tahu dan memiliki ilmu untuk jalan yang kita pilih. Tetapi keyakinanmu belum tentu kuat dalam memilihnya. Maka kamu butuh pendapat dari setiap orang agar semakin yakin. Tetapi yang menjadi persoalan, setiap orang memiliki pengalaman, batasan ilmu, dan juga cara pikir yang beragam, maka jalan yang mereka pilih pun berbeda dan semakin banyak pendapat yang kamu kumpulkan akan benar-benar mempengaruhi pendapatmu. Dan jika kebanyakan berpendapat berbeda dengan jalan yang akan kau pilih, maka akan ada langkah yang meragu. Dan itulah yang pernah aku alami.
Disinilah, kita butuh orang yang mendukung langkah kita agar kita kembali yakin dan terus melangkah. Tak perlu banyak, cukup satu orang yang kamu hormati atau percayai yang mendukungmu, agar kamu kembali yakin dan berkata tidak untuk pilihan yang lain. Bukan berarti menolak pendapat orang lain, tetapi pendapat mereka benar untuk kasus yang mereka alami dan yang mereka tahu. Tetapi untuk kasus kita dengan saya sebagai pemeran utamanya, pendapat mereka belum tentu cocok ataupun baik.
Itulah mengapa sosial itu menarik, karena dukungan dalam bentuk psikologis akan sangat berarti. Saat kita mendapatkan kepercayaan dari orang yang kita hormati, dan mereka mendukung apa yang kita pilih, maka semuanya akan menjadi nikmat. Bentuk rasa sakit apapun, bagaimana terjalnya, bagaimana berlikunya, selama mereka masih mempercayai kita, semua itu akan terlewati. Luka adalah sesuatu yang pasti, kita sendiri pernah mengalaminya, terjatuh saat belajar berdiri, terluka saat mengiris buah, tersayat saat melancipi pensil, tapi apakah kita berhenti berusaha lalu memilih merangkak saja, atau berhenti mengiris buah dan selamanya tidak mau makan buah, atau apakah kita akan berhenti belajar menulis karena pensil kita tak pernah dilancipi? Tentu tidak, selama ada yang percaya dan berharap kepada kita. Dan itu adalah orang yang terdekat dengan kita.
Mungkin, itu juga yang menjadi alasan kenapa ketika memilih pasangan hidup, kita harus memilih yang sejalan dan cocok. Dalam Al-Quran sendiri, Allah menyuruh hambanya agar menikahi yang seiman, karena yang seiman memiliki tujuan yang sama, yaitu kembali kepada Allah SWT. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan untuk memilih perempuan dari segi kepahaman terhadap agamanya, ketimbang dari 3 aspek lainnya. Karena pasangan inilah yang akan menjadi orang terdekat kita, maka merekalah yang akan mendukung kita dalam melakukan kewajiban untuk sama-sama kembali kepada Allah SWT.
Memasuki dunia pasca kampus, belum juga genap 1 bulan setelah upacara pelepasan yang biasa orang bilang wisudaan. Dan aku mulai memahami apa yang disebut di real life. Mungkin beberapa fakta yang akan ku ungkap, setelah satu pekan penuh memikirkan sesuatu yang gamblang dan begitu memenuhi pikiran. Beberapa fakta-fakta yang yang menarik untuk dibahas diantaranya, status, kerja, pilihan, dan beberapa hal receh lainnya.
Yang paling pertama yang perlu kamu sadari adalah statusmu di masyarakat. Kamu tidak boleh menolak fakta bahwa kamu sekarang manusia yang namanya sudah ada gelar/title di belakangnya (ya setidaknya untuk S1 atau D3, gelarnya di belakang kalau di Indonesia). Mungkin kalau di lingkungan kota, gelar S1 sudah biasa. Belum juga kalau di kota, paguyubannya bisa dibilang kurang, hal itu tidak begitu membebani. Tetapi jika kamu kembali ke Desa, maka kamu akan sangat spesial memiliki gelar. Engkau akan dianggap serba bisa, bisa mengisi doa, bisa mengajar, bisa berbicara di depan umum dan bisa-bisa lainnya.
Kadang mereka juga tidak mau tau kamu jurusan apa, bagi mereka jika kamu sudah selesai S1 atau S2, kamu juga bisa ngerti tetang Hukum, Sosial, Administrasi, Mengajar, dan lainnya. Mereka tau nya kamu seperti lulusan lainnya yang beda jurusan, sama-sama telah kuliah dan selesai. Meskipun kamu anak teknik elektro, mereka taunya kamu telah lulus kuliah, sama seperti dia yang telah lulus jurusan pendidikan agama islam. Atau sebagian yang sedikit ngerti bahwa kuliah itu beda-beda jurusan, mereka menilainya ya setau mereka. Misal jika lulusan teknik mesin, maka mereka taunya kamu ngerti cara benerin klaher yang pecah, gir yang rontok, ganti busi, oli, dll.
Intinya, statusmu di masyarakat spesial. Jika kamu tidak bisa melakukan apa-apa setelah pulang, maka akan menjadi beban moral tersendiri. Dan mungkin inilah yang mereka sebut dengan real life tahap awal, adalah tekanan psikologis sebagai penyandang gelar sarjana. Dan selamat datang di dunia yang sebenarnya.
Tapi bukan hanya itu saja, pertanyaan selanjutnya yang juga nggak kalah bikin stress bagi orang tertentu adalah kerja dimana. Nah, kalau ini paling relevan ditanyakan pada masyarakat kota. Kalau di Desa, kamu aktif di kegiatan masyarakat, selesai urusan ditanyain kerja dimana, Tetapi tidak di kota. Bahkan kamu sudah dapat kerjaan, dan jika kerjaanmu begitu susah tetapi gajinya nggak seberapa, maka kamu juga akan kena gunjingan seribu mulut dewa (hehehe). Kerja aja salah, apalagi nggak kerja. Bahkan jika kerjamu sudah bergaji besar, masih ada saja yang nggak rela kamu berhenti jadi bahan pembicaraan. Tapi kalau soal dibicarain, di desa juga sih, cuma bisa lebih senyap ketimbang di masyarakat kota. Dan inilah real life lainnya yang juga bisa jadi sangat menyiksa. Dan sekali lagi selamat datang di dunia yang sebenarnya.
Bagi beberapa orang yang telah memiliki tujuan yang kuat dan jelas, maka mereka dengan sangat yakin menjalani apa yang telah menjadi pilihan mereka bagaimanapun orang mengatakan tentang dia. Beberapa orang setelah kuliah kebingungan untuk mencari pekerjaan karena mereka tetap ingin berada di zona nyaman, yaitu tidak jauh dari kampung halamannya. Ya alasannya tentu banyak, ada yang karena memang tidak mau beradaptasi dengan lingkungan baru, ada yang karena tidak mau jauh dari keluarga, dan ada-ada lainnya. Ada juga yang mereka memiliki sedikit sekali pilihan karena beberapa faktor, sehingga bagaimanapun, ntah cocok atau tidak, ntah bahagia atau tidak, mereka telah merasa bahwa itu takdirnya dan berjuang di tempatnya sekarang dan memilih untuk berhenti berfikir dan mencari jalan lain yang mungkin itu bisa saja baik atau sebaliknya.
Diantara lainnya, ada manusia yang spesial dan penuh prestasi. Mereka begitu banyak pilihan dan dicari dimana-mana. Diantara mereka, adalah yang kebingungan dan malah justru berhenti memilih. Mereka malah kembali ke pelukan lingkungan lamanya tanpa mau berkembang memahami hidup yang lebih luas. Beberapa yang lainnya lagi, tak pernah kerasan (betah, menetap) dengan satu pilihan. Mereka berganti-ganti peran, satu orang, dalam satu tahun bisa lebih dari puluhan kali. Dan sayangnya, kemana pun mereka berganti, mereka selalu mendapat kesempatan karena kejaniusannya. Dan beberapa lagi dari orang jenius ini merasa begitu hebat. Dan lagi-lagi, dari sekian banyak manusia penuh pilihan ini, ada saja yang menebar pujian, ghibahan, dan juga makian. Dan sekali lagi selamat datang di dunia yang sebenarnya.
Pertanyaan yang lainnya, adalah kapan menikah. Pasca kampus, kamu tidak dapat memunkiri bahwa umurmu sudah mencapai umur kepala dua. Yang emang pada umur segini adalah seru-serunya berkarir tetapi juga sudah wajarnya umur menikah. Bagi beberapa orang menyegerakannya, karena banyak hal ingin mereka rancang dalam kehidupan rumah tangga. Beberapa lainnya mengakhirkan sampai mendekati kepala tiga lalu menikah. Beberapa alasannya adalah menyiapkan kemapanan hidup berumah tangga. Juga, ada yang menikah lebih dari itu. Dan pertanyaan kapan menikah, bagi beberapa orang merupakan tekanan psikologis. Saat kamu nikah cepat, pasti ada saja yang berkata, nggak sayang karirnya, ntar susah loh kalau udah nikah. Yang nikah di akhir, nggak ketuaan, kok nggak nikah-nikah, ntar nggak laku lagi. Yang melebihi batas wajar, tuh kan nggak laku-laku, nggak buru-buru nikah sih. Begitulah kehidupan yang sebenarnya.
Ya bagaimanapun kamu nanti di masyarakat, terutama bagi orang yang sudah bergelar namanya, apapun yang menjadi pilihanmu adalah tanggung jawabanmu. Tapi fakta-fakta yang tersebut juga tak bisa dipungkiri. Tapi terkurung dengan status tentu tak baik untuk dirimu. Kita tentu memahami, bahwa kita memang di wajibkan berusaha untuk menggapai tujuan, tapi kita juga diberitahu bahwa apa yang menjadi ketentuan Allah, tidak bisa di ganggu gugat. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita dalam mengemban setiap amanah yang diberikan. Masyarakat bebas menilai, mereka juga bebas membicarakan kita. Tetapi sikap kita, kita yang menentukan. Dan tentu amal kita, biar Allah yang menilai. Yang terpenting adalah melakukan yang terbaik dengan niat yang terabaik. Dan saya ucapkan selamat datang bagi kalian yang sudah selesai dengan status mahasiswanya. Selamat datang dikehidupan yang sebenarnya.
Untuk bisa menulis, kamu hanya perlu memulainya. Banyak sekali orang yang ingin menjadi penulis, tetapi mereka selalu mengeluh dan bertanya bagaimana caranya. Setelah banyak keresahan yang muncul, berbagai pengalaman yang terjadi dan dirasakan sendiri, kali ini saya akan berbagi beberapa tips untuk memulai menulis sesuatu. Yah, walaupun belum konsisten menulis, tetapi setidaknya saya telah melalui proses yang panjang.
Pertama yang paling penting adalah memulainya. Mungkin kita ketika baru memulai menulis selalu mengomentari konten, dan bertanya apa yang harus ditulis. Yang paling mudah untuk ditulis adalah apa yang paling sering ada dalam pikiran kita. Apa yang menjadi perhatian kita paling banyak, maka itu yang paling mudah ditulis. Biasanya kita bisa dengan mudah membahas sesuatu dan membicarakan sesuatu sampai seperti kuliah dua sks, tetapi ketika menulis, rasanya otak menjadi kosong dan tidak tahu apa yang akan ditulis selanjutnya.
Tenang, itu memang fase yang terjadi, jadi keep calm. Solusi nya adalah, menulis lah, apa saja. Diari, status, berita, dan semua hal yang paling bisa kamu tulis. Hal ini melatihmu untuk kosisten dan membuktikan kesungguhanmu untuk menulis sesuatu. Jangan pernah pikirkan isinya, kosa-katanya ataupun kejelasan maksud. Kamu harus konsisten dulu dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini menulis. Jika kamu sudah konsisten dalam menulis, lama kelamaan kamu akan terbiasa menyampaikan maksud melalui tulisan, dan tulisanmu semakin hari semakin terarah.
Kedua yaitu menambah bacaan. Membaca dapat meningkatkan wawasan dan kosa kata. Membaca juga membuat kita belajar tata bahasa dan tata kata untuk menyampaikan sesuatu melalui tulisan. Secara langsung maupun tidak langsung, ini akan mempengaruhi tulisanmu berikutnya. Tulisanmu akan membaik dari segi tata bahasa maupun isi. Pembahasannya pun semakin luas dan beragam, sesuai dengan kesukaan dan bacaan yang sering kamu baca. Pada tahap ini, menulis akan mulai menyenangkan, sesuai dengan tingkat ketertarikan kita dalam menulis.
Jika kamu tipe penulis fiksi, seperti cerpen dan lain-lain, membaca buku umum, berita, dan pengetahuan, akan dapat mengayakan wawasan yang kamu tulis dan bisa membuat ceritamu lebih berkembang dengan gambaran yang lebih nyata. Dan ini akan lebih menarik karena bisa jadi ceritanya sesuai dengan yang terjadi pada dunia nyata. Sedangkan jika ceritamu bersifat fantasi, maka kamu akan bisa mengembangkan cerita lebih luas dan membuat orang lain penasaran.
Ketiga, setelah kamu sudah konsisten dan rajin menulis, kamu rajin membaca, tulisanmu sudah berkembang dari kualitas isi konten, tata bahasa dan lainnya, adalah menentukan fokus tulisan. Hal ini akan membuatmu mudah menulisnya dan terarah. Selain dari membuatmu lebih produktif, kamu juga akan mulai menentukan siapa pembaca tulisanmu dan target dari sasaran tulisanmu. Ini juga akan membangun siapa dirimu di mata para pembaca. Jika sudah menentukan kamu berfokus kearah apa tulisannya, maka selanjutnya perdalam bagaimana tentang kepenulisan yang sebenarnya, yang bisa di buku kan, yang bisa menjadi karya cipta.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas sampai kepada bagaimana membuat buku dan melisensi tulisan, hanya saja saya ingin mengajak teman-teman untuk menulis menyampaikan gagasan, karya, dan lain-lain. Juga mengajak teman-teman untuk berkarya dan meningkatkan budaya membaca, karena dengan membaca dan menulis, kita akan mengetahui luasnya dunia dan juga ikut serta membawa orang-orang memahami bahwa setiap orang memiliki perannya masing-masing, setiap orang memiliki tulisannya masing-masing
Lagi asik-asiknya berkumpul, di tengah canda yang renyah dan gurih tiba-tiba ada yang bertanya kamu kerja dimana? dan gajimu berapa? Ah, merusak mood saja, kalau bekerja membuatku terbebani dan tidak dapat melakukan banyak hal yang berarti, maka saat itu aku menjadi robot dan sisanya menjadi manusia kecapekkan. Dan, selamat datang di kehidupan yang sebenarnya, dimana setiap orang mudah bertanya tapi jawabannya tak selalu mudah. Dimana pertanyaannya dipukul rata dan semua dianggap sama. Dimana semua dibandingkan dengan tolak ukur materi tanpa memandang kesenangan dalam jiwa yang senantiasa tersenyum kecil.
Ternyata semua itu bersembunyi dibalik statusmu yang dulunya seorang pelajar menjadi seorang yang bukan pelajar lagi. Mereka mengatakan kamu pengangguran jika kamu tidak bekerja menjadi pegawai, kantor, buruh atau lainnya yang memiliki gaji tetap. Dan mereka akan menyebutnya seorang pengusaha jika kamu membuat sebuah usaha dan telah menghasilkan banyak uang dan cabangnya sudah dimana-mana. Tetapi untuk kamu yang baru mulai, yang hasilnya beda tipis sama modal, mereka cuma bisa bilang, sok sibuk, ngapain, nggak ada guna. Apalagi orang yang melakukan kegiatan sosial tanpa gaji dan menjadi relawan. Dan kegiatan lain yang relevan dalam hal tidak ada uang yang dihasilkan.
Termasuk menjadi penulis misalnya, yang tulisannya belum terbit kecuali pada cuitan twitter, remahan facebook dan rerontokkan blogger. Meski kamu memiliki banyak kegiatan, tetapi jika itu tidak ada gajinya, selamat, kamu telah menjadi pengangguran.
Menjadi pengangguran memang bukan sebuah pilihan, malah menjadi beban negara, katanya. Nyatanya kegiatan sosial lain yang coba mencerdaskan bangsa dengan menjadi sukarelawan, tidak dianggap sebagai pekerjaan, tetapi sebuah kegiatan untuk menolak disebut pengangguran. Padahal menurutku pengangguran adalah orang yang tidak melakukan apa-apa bahkan tidak memiliki rencana apa-apa untuk dilakukan. Maka, sebenarnya membersihkan rumah, mengepel lantai, menulis di blog juga bisa disebut pekerjaan yang artinya kamu bukan pengangguran. Ya, kita kan tahu banyak juga yang pekerjaannya adalah menjadi penulis di blogger dan mulai menghasilkan uang. Tetapi di masyarakat kita, hal itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.
Padahal, sering kali kita mendengar cerita asik dan nyesek, kala ada seorang lelaki yang datang ke rumah orang tua dari wanita yang di cintainya untuk melamar. Dan yang ditanyakan pertama kali adalah kamu kerja dimana, gajinya berapa. Dan laki-laki itu menjawab, saya tidak bekerja pak, saya tidak punya gaji. Dan laki-laki itu di suruhnya pergi, "kamu mau kasih makan anak saya apa". Padahal, sang lelaki adalah juragan bakso dan mie ayam yang sudah memiliki lebih dari 20 cabang dan pengelolaannya sudah diberikan kepada seseorang yang digajinya untuk memanajemen usahanya. Dia hanya tinggal menerima semua hasil keuntungan dan membicarakan pengembangan bisnis lainnya.
Candaan di masyarakat memang menggelikan. Pasalnya, pekerjaan, meski hanya menjadi buruh begitu di banggakannya. Sedangkan sebuah kerja yang mencerdaskan malah tidak begitu di hargai malah diberi dengan berjibun pertanyaan, kritik dan saran yang membuat supaya ia menjadi umum seperti lainnya, menjadi seorang pesuruh orang lainnya. Yah, memang tak salah menjadi seorang pesuruh, selama bekerja dan mendapatkan nafkah yang halal, semua baik-baik saja. Yang menurutku tak sesuai adalah, menilai kegiatan dan pekerjaan orang lain tanpa dasar ilmu, hanya sekilas tampak saja. Namanya juga masyarakat, sekumpulan manusia, pasti memiliki nilai yang di sepakati bersama dan budaya yang telah di akui bersama. Maka semua wajar di standarkan dan dibandingakan dengan nilai yang ada.Tapi apakah itu baik?
Kerja yang baik adalah yang memberikan banyak kemanfaatan bagi orang lain. Kerja yang mulia adalah yang membuat orang yang melakukannya dan orang yang ada disekitarnya menjadi mulia. Sedangkan pekerjaan yang hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, adalah tingkatan paling tidak keren. Sayangnya, justru yang tidak keren inilah suka mengomentari yang lainnya. Dan di masyarakat yang majemuk, nilai yang sesuai dengan realita yang mereka bentuk sendiri, orang-orang seperti ini muncul dengan kerap dan mewarnai perjalanan hidup yang sebenarnya.
Ketauhilah, bahwa banyak yang sedang berfikir dengan keras untuk memahami kehidupan ini, dan berusaha untuk bebas dalam memilih pilihan hidupnya sendiri tanpa ada tekanan dari orang lain untuk membentuk kehidupannya sendiri. Tidak bekerja dan bergaji bukan berarti mereka menganggur, mereka hanya sedang melakukan pekerjaan lain yang menurut mereka perlu dan penting. Membuat tulisan, membuat kerajinan, mengajari anak mengaji, memberikan senyum terhadap saudara, menyapu masjid, dan banyak yang lainnya adalah sebuah pekerjaan. Ibu, salah seorang wanita yang mungkin dinamakan pengangguran jika tidak bekerja di luar. Padahal, dia hanya sedang mengabdi kepada suaminya yang mencari karunia Allah ke muka bumi ini. Dan Ibu mendidik anak ketika bapak sedang mencari nafkah, lalu menjaga rumah, merawatnya agar tetap nyaman dan bersih, dan itulah pekerjaan yang pahalanya bisa di ganjar dengan surga oleh Allah SWT.
Jadi sebenarnya selama ini aku menganggur atau tidak? ya, menganggur dari gaji tetapi tidak dari kegiatan. Meski ketika menjadi mahasiswa dikatakan sebagai pengangguran berstatus, maka di kehidupan pasca kampus, aku adalah manusia bergelar pengangguran yang bertitle.
Setelah beberapa sebelumnya membahas tentang menjadi mahasiswa baru, rasanya tak adil jika tidak membahas tentang mahasiswa tidak barunya. Dalam kontradisksinya, mahasiswa lama. Tapi kali ini saya ingin sekali memberi judul tulisan ini dengan mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit. Tentu tulisan ini dibuat dengan kesengajaan, tapi jika ada kesamaan kisah mohon dimaklumi dan akui saja. Jika kalian tidak terima dengan tulisan ini, fiks kita sama.
Jika ditanya kepada mahasiswa ini, kenapa kok belum selesai, maka akan ada banyak jawaban sesuai dengan alasan mereka masing-masing. Ada yang tidak selesai-selesai kuliah karena selama awal kuliah terlalu banyak meninggalkan jam dan mendapatkan beberapa nilai E atau D, sisanya adalah rantai karbon. Juga jarang ada vitamin A nya, karena matanya masih normal dan tidak perlu perawatan. Soalnya jarang digunakan untuk membaca hingga larut dan lupa waktu. Selanjutnya, ada yang karena malas dan mudah terlena dengan hal lain yang menurutnya lebih menarik, seperti main, hiking, traveling. Sayangnya melupakan tugas akhir dan ketika sudah sampai semester dua digit barulah bertanya kemana selama ini. Masalahnya bukan hanya dia saja, karena kemudian akan ada rasa segan untuk menghadap dosen pembimbing dkk.
Kemungkinan jawaban selanjutnya adalah karena dosennya yang super sibuk sehingga baru bisa bimbingan setiap sepekan sekali. Ditambah buaian kasur, wifi dengan kecepatan 20 mbps, Smartphone 6 128 GB, dan kosan dengan AC dan kasur lembut nan tebal. Maka hal ternyaman adalah tetap berdiam di kamar dan asik dengan dunia sendiri. Hingga lama kelamaan mulai asing dengan dunia kampus, menjadi mahasiswa legend sampai punya lebih dari 4 generasi adik tingkat. Lengkap sudah penderitaan batin ketika harus kembali ke kampus demi tugas akhir.
Lainnya, juga ada yang mengatakan karena sayang dengan kampus, sayang dengan dosen pembimbing, memberi motivasi, berbagi ilmu disana dan disini. Tetapi untuk sekedar melaksakan penulisan skripsi di sampul pertama seolah-olah kegiatan lain menggoda untuk dikerjakan. Berdalih tidak apa-apa bila bisa memberikan manfaat yang banyak kepada yang lainnya, maka menyelesaikan studi adalah yang nanti dulu, aku telah menemukan jalanku. Apakah ini masalah? tapi bukankah kehidupan kita jugalah masalah yang perlu di tanggapi dengan bijak agar kita kembali ke tempat perhentian yang paling baik? Mari kita bahas satu persatu.
Psikologi mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit berisi penuh tekanan dari dunia luar. Bagaimana mereka bersikap tergantung dengan pembawaan karakter mereka masing-masing. Menariknya rakyat luar dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswa ini memukul rata semuanya dengan tuduhan yang sama. Yang lulus cepat adalah orang yang pintar dan yang lulusnya lama adalah orang yang kurang pintar. Padahal faktanya ada yang IPK nya mencapai 3,5 lebih tapi lulus pada tahun garis merah medekati dua huruf D dan O. Sudah terbayang bagaimana tekanan psikologisnya kan? Maka akan ada yang menjadi sangat sensitif saat ditanya dengan skripsi, udah sampai mana? kapan wisuda? Rasanya pengen nonjok tuh muka orang yang nanyain.
Di lain waktu, ada pembimbing super idealis. Semuanya harus sesuai dan rapi sekaligus mengimbangi karya ilmiah mahasiswa dari kampus harvard atau perguruan tinggi bergengsi lainnya. Sedangkan mahasiswa terbimbing otaknya cetek, berifikirnya sederhana dan cuma pengen ijazah aja. Dua hal ini jika bertemu adalah magnet yang saling tolak menolak. Dan akhirnya mengantarkan sang mahasiswa pada jurang kenestapaan yang dalam.
Lain hal nya, bagi yang bertujuan kuliah supaya mendapat pekerjaan yang baik dan bisa hidup mandiri. Di dorong dengan liku-liku birokrasi kampus yang menurutnya rumit, dan lingkungan kampus yang kurang sesuai, atau mungkin merasa salah jurusan. Hal ini membuat sang mahasiswa mencari hal lain yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang. Berbekal kenalan organisasi, kelihaiannya bernegosiasi dan berkoneksi, dia berhasil memperoleh pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu luang di luar kuliah dan kewajibannya menyelesaikan karya ilmiah.
Awalnya didorong karena kebutuhan SPP, sehingga pekerjaan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan jurusan yang ia ambil. Mendapatkan uang, menikmati pekerjaan, membuat nyaman dan merasa apa yang ia cari telah ia dapatkan. Sayangnya terlena dan lupa kalau ternyata skripsi belum selesai, didukung dengan konflik batin dengan pembimbing. Lengkap sudah, semesta sempit mendukungmu untuk tidak menyelesaikannya. Sayangnya, pada suatu saat ketika karir kerjanya baik, maka title pendidikan sangat dibutuhkan untuk naik pangkat.
Jadi dengan semua kasus di atas siapa yang berhak dibela?
Pernah suatu waktu saya merasa bahwa saya salah jurusan. Segala pertimbangan dulu kenapa memilih jurusan yang ditekuni saat ini, adalah hal-hal yang semuanya bersifat akademik dan nilai-nilai kebahagiaan yang sesaat. Tanpa mempedulikan bagaimana kenyamanan jiwa saat menjalani dan mendalaminya. Namun, ketika sesekali beres-beres barang dan merapikan satu-persatu tumpukan kertas dan formulir, ada beberapa tumpuk kertas dan lembar formulir. Dan disitu ada nama dan data diri secara singkat. Saya berfikir, bahwa saya dulu masuk perguruan tinggi dan jurusan ini juga atas persetujuan saya sendiri. Saya pikir, apa yang telah saya mulai harus saya selesaikan. Ya, salah jurusan juga bukanlah bencana. Menjadi mahasiswa eksekutif memang sebuah tragedi, tetapi bukan berarti ini sepenuhnya buruk. Tetapi memilih menyerah sungguh tidak keren sekali. Kehidupan adalah selembar kertas kosong setiap harinya. Lalu akan seperti apa yang kau tulis pada kertas itu, Allah benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada hambanya. Apakah penuh noda pekat, atau rapi tertulis amal shaleh dan bercahaya.
Maka apa salahnya, meski menjadi mahasiswa kelas eksekutif semester dua digit, kita tetap berusaha untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan juga tetap memberi kebermanfaatan sesuai dengan kesenangan kita. Maka memilih yang benar dan baik, lalu melaksanakan menurutku lebih keren dari pada menyerah pada setiap masalah yang sebenarnya membuat kita jauh lebih kuat dari biasanya. see you for next part
Alhamdulillahirabbilaalamiin